DETEKSI DINI SINDROM ACA PADA ANAK



Anak-anak yang dilahirkan dari ibu penderita sindrom ACA, berisiko lebih besar memiliki sindrom darah kental ini dibanding anak-anak lain.

"Saat Fakhri berusia satu minggu, dia diperiksa darahnya untuk mengetahui apakah terkena ACA atau tidak. Syukurlah, ACA-nya negatif," ungkap Rica Sari (35) yang terkena sindrom ACA (Anticardiolipin) alias APS (Antiphospholid Syndrome) sejak sebelum hamil.


Selanjutnya di usia 6 bulan, si buah hati yang bernama lengkap Muhammad Fakhri Wibisono ini, diperiksakan matanya karena dikhawatirkan efek ACA dari sang bunda selama di kandungan. "Menurut dokter, kalau virus sampai menyerang matanya, bukan tak mungkin bisa menyebabkan kebutaan. Kalau menyerang telinga, akan mengakibatkan kerusakan pada telinga. Karena itu, setiap tahun kami harus rutin mengecek kesehatannya."


Untunglah, hasil pemeriksaan mata di usia 6 bulan itu menunjukkan tak ada kelainan apa pun alias normal. Begitu juga dengan pemeriksaan mata dan telinga yang dilakukan saat Fakhri berusia setahun, "hasilnya bagus dan normal. Di usia dua tahun harusnya Fakhri periksa darah dan kontrol lagi, tapi saya belum membawanya untuk periksa karena belum sempat," papar Rica yang melahirkan anak pertamanya itu pada 27 April 2002 setelah tiga tahun menikah.


SEJAK DI KANDUNGAN


"Memang, bukan hanya si ibu, tetapi bayi yang dilahirkannya pun harus menjalani pemeriksaan laboratorium yang tak berbeda dengan ibunya," kata Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, DSPD, KHOM, F.A.C.T.H., guru besar Fakultas Kedokteran UI yang mendalami APS.


Bahkan ada yang sejak dari dalam kandungan harus diperiksa, apakah si bayi terkena sindrom ACA atau tidak. "Caranya dengan mengambil sampel dari umbilikus atau tali pusat," lanjut penerjemah buku Hughes Syndrome karya Dr. Graham Hughes. Akan tetapi, mengingat risiko dan efek sampingnya cukup tinggi, maka pemeriksaan dengan cara ini dilakukan hanya dalam kondisi yang sangat mendesak, semisal si ibu sangat sering keguguran atau selalu drop kondisinya.


Untunglah, kasus sindrom ACA pada anak jarang ditemukan. Hanya saja hal ini berdampak, pengetahuan medis mengenai sindrom ACA pada anak menjadi sangat minim. Satu hal yang pasti, anak-anak yang lahir dari ibu yang menderita sindrom ACA akan jauh lebih besar risikonya dibandingkan anak-anak lainnya. Itulah mengapa, setelah lahir, si anak harus pula diperiksakan untuk memastikan terkena-tidaknya. Bila si anak juga terkena ACA, maka ia pun harus menjalani terapi obat sebagaimana yang dialami ibunya, bisa dengan cara oral maupun suntik.


LEBIH DARI SATU GEJALA


Gejala atau ciri umum dari sindrom ACA berikut ini dapat dialami oleh orang dewasa maupun anak-anak: sering merasa pusing, migrain, sakit kepala, pegal-pegal di leher atau tengkuk, tangan sering kesemutan atau merasa baal, pandangan berkunang-kunang, pandangan kabur, daya ingat menurun, sesak napas, telinga sering mendengung hingga tuli mendadak.


Gejala lain yang perlu dicermati adalah peningkatan tekanan darah tanpa penyebab pasti. Peningkatan tekanan darah ini diduga akibat pengentalan darah yang membuat aliran darah jadi tak sempurna, lantaran fungsi organ-organ tubuh terganggu. Mereka yang APS-nya tergolong tingkat tinggi, bisa mengalami stroke atau kelainan jantung di usia dewasa muda atau sebelum usia 40 tahun.


Bagi wanita yang sudah menikah, disamping yang telah disebutkan di atas, gejala lainnya adalah infertiliti primer, sering mengalami keguguran, janin/bayi mati dalam kandungan, bayi yang lahir meninggal, dan preeklamsia.


Akan tetapi, kata Karmel, gejala-gejala yang disebutkan tadi tak bisa dijadikan pegangan kuat. Pasalnya, bisa jadi si A jarang pusing tapi terkena ACA, sementara si B yang sering mengalami pusing malah tak terkena ACA. Karena itulah, ciri-ciri atau gejala yang dicurigai harus lebih dari satu. Contoh, sering pusing dibarengi sering pegal, dan tangan kerap kesemutan. "Kalau wanita yang sudah menikah, disamping sering keguguruan, juga memiliki keluhan lain, semisal pusing, baal, dan pegal-pegal." Tetapi untuk kepastiannya, pasien tetap harus diperiksa darahnya di laboratorium untuk menjalani tes ACA.


GEJALA & PENANGANAN PADA ANAK


Selain mengalami gejala umum seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa, "ada juga gejala khas yang ditemukan pada balita dan anak," ujar Karmel. Yaitu, pegal-pegal, lebih mudah capek, berat badan susah naik, konsentrasi kurang, sering sakit, suka mengalami kejang-kejang, dan menderita epilepsi.


Sekalipun begitu, penanganan sindrom ACA pada anak dan dewasa sama saja, harus mengonsumsi obat pengencer darah. "Kalau sudah berat harus menjalani terapi obat dengan cara suntik."


Adapun lamanya menjalani terapi, sama seperti dewasa, tak bisa dipukul rata dan dipastikan. "Bisa tahunan atau selama hidupnya." Hal ini bergantung pada pemeriksaan darah di laboratorium setiap enam bulan atau satu tahun sekali.


SINDROM ACA, PENYAKIT MISTERIUS


Sindrom ACA atau APS atau sindrom Hughes adalah penyakit autoimun yang menyebabkan darah menjadi kental. Itulah mengapa, penyakit ini disebut juga sindrom darah kental. Memang, jelas Karmel, tubuh memiliki kemampuan alamiah untuk mencegah terjadinya pembekuan yang tidak wajar. "Tetapi pada sindrom ini terdapat suatu protein darah (antibodi) yang mengakibatkan darah lebih kental dan mudah membeku."


Penyakit ini mengakibatkan pasokan darah ke organ di dalam tubuh dapat berkurang atau terhenti sama sekali, tergantung tingkat gangguannya. Seperti halnya mesin mobil, bila pelumas di dalam mesin terlalu kental, pasti mekanisme kerja mesin tidak bisa berjalan sempurna, tersendat-sendat hingga macet. "Jika darah yang mengalir dalam tubuh melewati pembulu darah terlalu kental, pasti semua sistem kerja tubuh tak bisa berjalan sempurna, jadi tersendat-sendat hingga macet. Efeknya, penurunan daya ingat dan yang terekstrem adalah stroke hingga kematian."


Di Indonesia, penyakit yang ditemukan pada awal 1980-an oleh Dr. Graham Hughes dkk. ini, baru ditemukan dan mendapatkan penanganan serius sejak Oktober 1997. Dalam arti, setiap pasien yang darahnya dicurigai mengandung antibodi antiphospholipid dianjurkan menjalani tes ACA. Lewat pemeriksaan ACA, akan diketahui kadar IgG dan IgM penderita. "Parameter laboratorium inilah yang bisa dijadikan pegangan untuk memastikan terkena ACA tidaknya seseorang, karena APS tak memperlihatkan gejala spesifik," jelas Karmel. Sayangnya, tes ini baru bisa dilakukan di kota besar dan rumah sakit tertentu, mengingat biayanya lumayan mahal, sekitar Rp300 ribu untuk tiap pemeriksaan.


Apa penyebab ACA, hingga kini belum diketahui secara pasti. Tetapi ada beberapa dugaan, di antaranya faktor keturunan/genetik, alergi obat-obatan, adanya kanker dan infeksi virus atau bakteri. Yang jelas, penyakit ini tergolong misterius, susah dideteksi karena gejalanya dapat berbeda pada tiap orang, bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.


Gazali Solahuddin. Ilustrator: Pugoeh (nakita.com)

Post a Comment

0 Comments