RUU Perdagangan

RUU Perdagangan ini sudah di setujui oleh DPR RI dan akan segera di syahkan menjadi UU Perdagangan Yang baru. Ada beberapa poin penting yang bisa kita lihat dari RUU perdagangan tersebut. Berikut secara lengkap RUU Perdagangan tersebut :



RANCANGAN UNDANG - UNDANG
TENTANG PERDAGANGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2014
RANCANGAN UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG PERDAGANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa pembangunan di bidang ekonomi diarahkan dan dilaksanakan untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi yang dilakukan melalui kegiatan Perdagangan mer upakan penggerak utama dalam pembangunan perekonomian nasional yang dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi dan memeratakan pendapatan serta memperkuat daya saing Produk Dalam Negeri ;
c. bahwa peranan Perdagangan sangat penting dalam meni ngkatkan pembangunan ekonomi, tetapi dalam perkembangannya belum memenuhi kebutuhan untuk menghadapi tantangan pembangunan nasional sehingga diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional ;
d. bahwa peraturan perundang - undangan di bidang Perdagangan mengharuskan adanya harmonisasi ketentuan di bidang Perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapi perkembangan situasi Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang - Undang tentan g Perdagangan;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG - UNDANG TENTANG PERDAGANGAN. 
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang - Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan adalah tata nan kegiatan yang terkait dengan transaksi B arang dan/atau J asa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan peng a lihan hak atas B arang dan/atau J asa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
2. Perdag angan Dalam Negeri adalah Perdagangan B arang dan/atau J asa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak termasuk Perdagangan Luar Negeri.
3. Perdagangan Luar Negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan E kspor dan/atau I mpor atas B arang dan/atau Perdagangan J asa yang melampaui batas wilayah negara .
4 . Perdagangan Perbatasan adalah Perdagangan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan penduduk negara tetangga untuk memenuhi k ebutuhan sehari - hari.
5. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsu men atau Pelaku Usaha .
6. Jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
7. Produk Dala m Negeri adalah Barang yang dibuat dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha di Indonesia.
8. Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/pemerintah/keput usan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan pada masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar - besarnya.
9. Standardisasi adalah proses merumus kan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak.
10. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat S NI adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi.
11. Distribusi adalah kegiatan penyaluran Barang secara langsung atau tidak langsung kepada konsumen.
12. Pasar adalah lembaga ekonomi tempat bertemunya pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan transaksi Perdagangan.
13. Gudang adalah suatu ruangan tidak bergerak yang tertutup dan/atau terbuka dengan tujuan tidak untuk dikunjungi oleh umum, tetap i untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan Barang yang dapat diperdagangkan dan tidak untuk kebu tuhan sendiri.
14. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hu kum yang didirikan dan be rkedudukan dalam wilayah hukum N egara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan.
15. Daerah Pabean adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruan g udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang - Undang Kepabeanan.
16. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari Daerah Pabean.
17. Eksportir adalah orang perseorangan atau lemb aga atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum , yang melakukan Ekspor.
18. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean.
19. Importir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha , baik yang berb entuk badan hukum maupun bukan badan hukum , yang melakukan Impor.
20. Promosi Dagang adalah kegiatan mempertunjukkan, memperagakan, memperkenalkan, dan/atau menyebarluaskan informasi hasil produksi Barang dan/atau Jasa untuk menarik minat beli konsumen, ba ik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam jangka waktu tertentu untuk meni ngkatkan penjualan, memperluas p asar, dan mencari hubungan dagang.
21. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri adalah Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler Republi k Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan p emerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau di organisasi internasional.
22. Kerja Sama Perdagangan Internasional adalah kegiatan Pemerin tah untuk memperjuang kan dan mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan Perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional .
23. Sistem Informasi Perdagangan adalah tatanan, prosedur, dan mekanisme untuk pengumpulan, pengola han, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau informasi Perdagangan yang terintegrasi dalam mendukung kebijakan dan pengendalian Perdagangan.
24. Perdagangan melalui Sistem Elek tronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalu i serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
25. Komite Perdagangan Nasional adalah lembaga yang dibentuk untuk mendukung percepatan pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan di bidang Perdagangan.
26. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerinta h adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
27. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Kebijakan Perdagangan disusun berdasarkan asas:
a. kepentingan nasional;
b. kepastian hukum;
c. adil dan sehat;
d keamanan berusaha;
e. akuntabel dan transparan;
f. kemandirian;
g. kemitraan;
h. kemanfaatan;
i. kesederhanaan;
j. kebersamaan; dan
k. berwawasan lingkungan.

Pasal 3
Pengaturan kegiatan Perdagangan bertuj uan:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. meningkatkan penggunaan dan Perdagangan Produk Dalam Negeri ;
c. meningkatkan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan;
d. menjamin kelancaran Distribusi dan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan Barang penting;
e. meningkatkan fasilitas, sarana, dan prasarana Perdagangan;
f. meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta p emerintah dan swasta;
g. meningkatkan daya saing produk dan usaha nas ional;
h. meningkatkan citra Produk Dalam Negeri , akses pasar, dan Ekspor nasional;
i. meningkatkan Perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif;
j. meningkatkan pelindungan konsumen;
k. meningkatkan penggunaan SNI;
l. meningkatkan pelindungan sumber daya alam; dan
m. meningkatkan pengawasan Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan.

BAB III

LINGKUP PENGATURAN

Pasal 4
(1) Lingkup pengaturan Perdagangan meliputi:
a. Perdagangan Dalam Negeri;
b. Perdagangan Luar Negeri;
c. Perdagangan Perbatasan;
d. Standardis asi;
e. Perdagangan melalui Sistem Elektronik;
f. pelindungan dan pengamanan Perdagangan;
g. pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah;
h. pengembangan Ekspor;
i. Kerja Sama Perdagangan Internasional;
j. Sistem Informasi Perdagangan;
k. tugas dan wewenang pemerintah di bidang Perdagangan;
l. Komite Perdagangan Nasional;
m. pengawasan; dan
n. penyidikan.
(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur Jasa yang dapat diperdagangkan meliputi:
a. Jasa bisnis;
b . Jasa d istribusi ;
c. Jasa komunikasi;
d. Jasa pendidikan ;
e. Jasa lingkungan hidup;
f. Jasa keuangan;
g. Jasa konstruksi dan teknik terkait;
h. Jasa kesehatan dan sosial;
i. Jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga;
j. Jasa pariwisata;
k. Jasa transportasi ; dan
l. Jasa lainnya.
(3) Jasa dapat diperdagangkan baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara.

BAB IV PERDAGANGAN DALAM NEGERI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 5
(1) Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Dalam Negeri melalui kebijakan dan pen gendalian.
(2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada:
a. peningkatan efisiensi dan efektivitas Distribusi ;
b. peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha;
c. peng integrasi an dan perluasan p asar dalam negeri;
d. peningkatan akses p asar bagi Produk Dalam Negeri ; dan
e. pelindungan konsumen.
(3) Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengatur:
a. peng harmonisasi an peraturan, S tandar, dan prosedur k egiatan Perdagangan antara pusat dan daerah dan/atau antardaerah;
b. penataan prosedur perizinan bagi kelancaran arus Barang;
c. pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan Barang kebutuhan pokok masyarakat;
d. pengembangan dan penguatan usaha di bidang Perd agangan Dalam Negeri, termasuk koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah;
e. pemberian fasilitas pengembangan sarana Perdagangan;
f. peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri ;
g. P erdagangan antarpulau; dan
h . pelindungan konsumen .
(4) Pengendalia n Perdagangan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perizinan;
b. S tandar; dan
c. pelarangan dan pembatasan.

Pasal 6
(1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangk an di dalam negeri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Distribusi Barang
Pasal 7
(1) Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri secara tidak langsung atau langsung kepada konsumen dapat dilakukan melalui P elaku U saha Distribusi .
(2) Distribusi Barang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum:
a. distributor dan j aringannya;
b. agen dan jaringannya; atau c. waralaba.
(3) Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui sistem penjualan langsung secara :
a. single level; atau
b. multilevel.

Pasal 8
Barang dengan hak Distribusi eksklusif yang diperdagangkan dengan sistem penjualan langsung hanya dapat dipasarkan oleh penjual resmi yang terdaftar sebagai anggota perusahaan penjualan langsung.

Pasal 9
Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang.

Pasal 10
Pelaku Usaha Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 melakukan Distribusi Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan serta etika ekonomi dan bisnis dalam rangka tertib usaha.

Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ke tiga Sarana Perdagangan

Pasal 12
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha secara sendiri - sendiri atau bersama - sama mengembangka n sarana Perdagangan berupa:
a. Pasar rakyat;
b. pusat perbelanjaan;
c. toko swalayan;
d. G udang;
e. perkulakan;
f. P asar lelang komoditas;
g. Pasar berjangka komoditi; atau
h . sarana Perdagangan lainnya.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha dalam mengembangkan sarana Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang - undangan.

Pasal 13
(1) Pemerintah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan , dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat dalam rangka peningkatan daya saing.
(2) Pembangunan, p emberdayaan , dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar r akyat;
b. implementasi manajemen pengelolaan yang profesional;
c. fasilitas i akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing; dan/atau
d. fasilitas i akses pembiayaan kepada pedagang Pasar di Pasar rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pemberdayaan , dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar rakyat diatur d engan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Pasal 1 4
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengaturan tentang pengemban gan, penataa n dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatik an keberpihakan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah .
(2) Pengembangan, penataan , dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan perizinan, tata ruang, zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian , kemitraan, dan kerja sama usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan perizinan, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur d engan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Pasal 15
(1) Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 2 ayat (1) huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran D istribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
(2) Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh setiap pemilik Gudang se suai dengan penggolongan Gudang menurut luas dan kapasitas penyimpanannya.
( 3 ) Setiap pemilik Gudang yang tidak melakukan pendaftaran Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) dikenai sanksi administra tif berupa penutupan Gudang untuk jangka waktu tertent u dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri .
(5) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administra tif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
(1) Di luar ketentuan Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyediakan Gudang yang diperlukan untuk menjamin ketersedi aan Barang kebutuhan pokok rakyat . (2) Gudang yang disediakan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tertutup dan jumlah Barang kebutuhan pokok rakyat yang disimpan dikategorikan sebagai data yang digunakan seca ra terbatas.
(2) Gudang yang disediakan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tertutup dan jumlah Barang kebutuhan pokok rakyat yang disimpan dikategorikan sebagai data yang digunakan seca ra terbatas

Pasal 17
(1) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang keluar dari Gudang.

(2) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang tidak menyelenggarakan pencatatan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan administrasi Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 18
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan penataan, pembinaan, dan pengembangan terhadap Pasar Lelang Komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f.
(2) Ketentuan mengenai penataan, pembinaan, dan pengembangan Pasar Lelang Komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Pasal 19
(1) Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Berjangka Komoditi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g.
(2) Ketentuan mengenai Pasar Berjangka Komoditi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Bagian Keempat Perdagangan Jasa

Pasal 20
(1) Penyedia Jasa yang bergerak di bidang Perdagangan Jasa wajib didukung tenaga teknis yang kompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyedia Jasa yang tidak memiliki tenaga teknis yang kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pemerintah dapat memberi pengakuan terhadap kompetensi tenaga teknis dari negara lain berdasarkan perjanjian saling pengakuan secara bilateral atau regional.

Bagian Kelima Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri

Pasal 22
(1) Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan Dalam Negeri, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri.
(2) Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan keberpihakan melalui promosi, sosialisasi, atau pemasaran dan menerapkan kewajiban menggunakan Produk Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Perdagangan Antarpulau

Pasal 23
(1) Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan antarpulau untuk integrasi Pasar dalam negeri.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. menjaga keseimbangan antardaerah yang surplus dan daerah yang minus;
b. memperkecil kesenjangan harga antardaerah;
c. mengamankan Distribusi Barang yang dibatasi Perdagangannya;
d. mengembangkan pemasaran produk unggulan setiap daerah;
e. menyediakan sarana dan prasarana Perdagangan antarpulau;
f. mencegah masuk dan beredarnya Barang selundupan di dalam negeri;
g. mencegah penyelundupan Barang ke luar negeri; dan
h. meniadakan hambatan Perdagangan antarpulau.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perdagangan antar pulau diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh Perizinan

Pasal 24
(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memiliki perizinan di bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri.
(2) Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.
(3) Menteri dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban memiliki perizinan di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan di bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan pengecualiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting

Pasal 25
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong peningkatan dan melindungi produksi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional.
(3) Barang kebutuhan pokok dan Barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 26
(1) Dalam kondisi tertentu yang dapat menganggu kegiatan Perdagangan nasional, Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting.
(2) Jaminan pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan produsen.
(3) Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor.

Pasal 27
Dalam rangka pengendalian ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Pemerintah dapat menunjuk Badan Usaha Milik Negara.

Pasal 28
Dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pemerintah mengalokasikan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
(2) Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Pasal 30
(1) Menteri dapat meminta data dan/atau informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(2) Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.

Pasal 31
Dalam hal Pemerintah Daerah mengatur mengenai langkah pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting, Pemerintah Daerah harus mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 32
(1) Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup wajib:
a. mendaftarkan Barang yang diperdagangkan kepada Menteri; dan
b. mencantumkan nomor tanda pendaftaran pada Barang dan/atau kemasannya.
(2) Kewajiban mendaftarkan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh produsen atau Importir sebelum Barang beredar di Pasar.
(3) Kewajiban Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan terhadap Barang yang telah diatur pendaftarannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kriteria atas keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan berdasarkan SNI atau Standar lain yang diakui yang belum diberlakukan secara wajib.
(5) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(6) Dalam hal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah diberlakukan SNI secara wajib, Barang dimaksud harus memenuhi ketentuan pemberlakuan SNI secara wajib.

Pasal 33
(1) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
a. distributor;
b. agen;
c. grosir;
d. pengecer; dan/atau
e. konsumen.
(2) Perintah penghentian kegiatan Perdagangan dan penarikan dari Distribusi terhadap Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) serta penghentian kegiatan Perdagangan Barang dan penarikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Bagian Kesembilan Larangan dan Pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa

Pasal 35
(1) Pemerintah menetapkan larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan:
a. melindungi kedaulatan ekonomi;
b. melindungi keamanan negara;
c. melindungi moral dan budaya masyarakat;
d. melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup;
e. melindungi penggunaan sumber daya alam yang berlebihan untuk produksi dan konsumsi;
f. melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan;
g. melaksanakan peraturan perundang-undangan; dan/atau
h. pertimbangan tertentu sesuai dengan tugas Pemerintah.
(2) Barang dan/atau Jasa yang dilarang atau dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 36
Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

Pasal 37
(1) Setiap Pelaku Usaha wajib memenuhi ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Bagian Kesatu Umum

Pasal 38
(1) Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.
(2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
b. peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri; dan
c. peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal.
(3) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi:
a. peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;
b. pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;
c. penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;
d. pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan
e. pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.
(4) Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi:
a. perizinan;
b. Standar; dan
c. pelarangan dan pembatasan.

Pasal 39
Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara dilakukan dengan cara:
a. pasokan lintas batas;
b. konsumsi di luar negeri;
c. keberadaan komersial; atau
d. perpindahan manusia.

Pasal 40
(1) Dalam rangka meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional, Pemerintah dapat mengatur cara pembayaran dan cara penyerahan Barang dalam kegiatan Ekspor dan Impor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pembayaran dan cara penyerahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 41
(1) Menteri dapat menunda Impor atau Ekspor jika terjadi keadaan kahar.
(2) Presiden menetapkan keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua Ekspor

Pasal 42
(1) Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai Eksportir, kecuali ditentukan lain oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai penetapan sebagai Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43
(1) Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor.
(2) Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang Perdagangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 44
Eksportir yang melakukan tindakan penyalahgunaan atas penetapan sebagai Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembatalan penetapan sebagai Eksportir. 18

Bagian Ketiga Impor

Pasal 45
(1) Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir yang memiliki pengenal sebagai Importir berdasarkan penetapan Menteri.
(2) Dalam hal tertentu, Impor Barang dapat dilakukan oleh Importir yang tidak memiliki pengenal sebagai Importir.
(3) Ketentuan mengenai pengenal sebagai Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 46
(1) Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor.
(2) Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang Perdagangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 47
(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.
(2) Dalam hal tertentu Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 48
Surat persetujuan Impor atas Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) diserahkan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan.

Bagian Keempat Perizinan Ekspor dan Impor

Pasal 49
(1) Untuk kegiatan Ekspor dan Impor, Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan yang dapat berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan.
(2) Menteri mewajibkan Eksportir dan Importir untuk memiliki perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan Ekspor sementara dan Impor sementara.
(3) Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.
(4) Dalam rangka peningkatan daya saing nasional Menteri dapat mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap Barang Impor sementara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Larangan dan Pembatasan Ekspor dan Impor

Pasal 50
(1) Semua Barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undang-undang.
(2) Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:
a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;
b. untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau
c. untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

Pasal 51
(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor.
(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.
(3) Barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 52
(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.
(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
(3) Barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4) Setiap Eksportir yang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap Importir yang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 53
(1) Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Menteri.

Pasal 54
(1) Pemerintah dapat membatasi Ekspor dan Impor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:
a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum; dan/atau
b. untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan:
a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
b. menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri;
c. melindungi kelestarian sumber daya alam;
d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam;
e. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau
f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
(3) Pemerintah dapat membatasi Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan:
a. untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; dan/atau
b. untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan.

BAB VI PERDAGANGAN PERBATASAN

Pasal 55
(1) Setiap warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain dapat melakukan Perdagangan Perbatasan dengan penduduk negara lain yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan.
(2) Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di wilayah perbatasan darat dan perbatasan laut yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 56
(1) Perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) paling sedikit memuat:
a. tempat pemasukan atau pengeluaran lintas batas yang ditetapkan;
b. jenis Barang yang diperdagangkan;
c. nilai maksimal transaksi pembelian Barang di luar Daerah Pabean untuk dibawa ke dalam Daerah Pabean;
d. wilayah tertentu yang dapat dilakukan Perdagangan Perbatasan; dan
e. kepemilikan identitas orang yang melakukan Perdagangan Perbatasan.
(2) Pemerintah melakukan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai, imigrasi, serta karantina di pos lintas batas keluar atau di pos lintas batas masuk dan di tempat atau di wilayah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan menteri terkait sebelum melakukan perjanjian Perdagangan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perdagangan Perbatasan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB VII STANDARDISASI

Bagian Kesatu Standardisasi Barang

Pasal 57
(1) Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:
a. SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
b. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
(3) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
(4) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau
d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.
(5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah.
(6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.
(7) Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi.

Pasal 58
(1) Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
(3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 59
Standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara.

Bagian Kedua Standardisasi Jasa

Pasal 60
(1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.
(2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
(3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau
e. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal.
(4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah.
(5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha.

Pasal 61
(1) Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
(3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 62
Standar, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara.

Pasal 63
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan Perdagangan Jasa.

Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pemberlakuan Standardisasi Barang dan/atau Standardisasi Jasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK

Pasal 65
(1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
(2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e. cara penyerahan Barang.
(5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(6) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PELINDUNGAN DAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

Pasal 67
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan.
(2) Penetapan kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Kebijakan pelindungan dan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap Ekspor Barang nasional;
b. pembelaan terhadap Eksportir yang Barang Ekspornya dinilai oleh negara mitra dagang telah menimbulkan lonjakan Impor di negara tersebut;
c. pembelaan terhadap Ekspor Barang nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain;
d. pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi praktik Perdagangan yang tidak sehat;
e. pengenaan tindakan pengamanan Perdagangan untuk mengatasi lonjakan Impor; dan
f. pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait Perdagangan yang ditentang oleh negara lain.

Pasal 68
(1) Dalam hal adanya ancaman dari kebijakan, regulasi, tuduhan praktik Perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Ekspor Barang nasional, Menteri berkewajiban mengambil langkah pembelaan.
(2) Dalam mengambil langkah pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Eksportir yang berkepentingan berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan; dan
b. kementerian/lembaga Pemerintah nonkementerian terkait berkewajiban mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan.

Pasal 69
(1) Dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan pengamanan Perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud.
(2) Tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan dan/atau kuota.
(3) Bea masuk tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.
(4) Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.

Pasal 70
(1) Dalam hal terdapat produk Impor dengan harga lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri terkait atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.
(2) Tindakan antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk antidumping.
(3) Bea masuk antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

Pasal 71
(1) Dalam hal produk Impor menerima subsidi secara langsung atau tidak langsung dari negara pengekspor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri atau menghambat perkembangan industri dalam negeri, Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan imbalan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian atau hambatan tersebut.
(2) Tindakan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengenaan bea masuk imbalan.
(3) Bea masuk imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, tindakan antidumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, dan tindakan imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB X PEMBERDAYAAN KOPERASI SERTA USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Pasal 73
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi, dan pemasaran.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

BAB XI PENGEMBANGAN EKSPOR

Bagian Kesatu Pembinaan Ekspor

Pasal 74
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor.
(3) Menteri dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri.
(4) Pemerintah dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua Promosi Dagang

Pasal 75
(1) Untuk memperluas akses Pasar bagi Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memperkenalkan Barang dan/atau Jasa dengan cara:
a. menyelenggarakan Promosi Dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri; dan/atau
b. berpartisipasi dalam Promosi Dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri.
(2) Promosi Dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pameran dagang; dan
b. misi dagang.
(3) Promosi Dagang yang berupa pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. pameran dagang internasional;
b. pameran dagang nasional; atau
c. pameran dagang lokal.
(4) Pemerintah dalam melakukan pameran dagang di luar negeri mengikutsertakan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
(5) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk pertemuan bisnis internasional untuk memperluas peluang peningkatan Ekspor.
(6) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui kunjungan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau lembaga lainnya dari Indonesia ke luar negeri dalam rangka melakukan kegiatan bisnis atau meningkatkan hubungan Perdagangan kedua negara.

Pasal 76
Pelaksanaan kegiatan Promosi Dagang di luar negeri oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha dilakukan berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di negara terkait.

Pasal 77
(1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib mendapatkan izin dari Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan.

Pasal 78
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan kegiatan pameran dagang yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau lembaga selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberian fasilitas dan/atau kemudahan pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. penyelenggara Promosi Dagang nasional; dan
b. peserta lembaga selain Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha nasional.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah saling mendukung dalam melakukan pameran dagang untuk mengembangkan Ekspor komoditas unggulan nasional.

Pasal 79
(1) Selain Promosi Dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), untuk memperkenalkan Barang dan/atau Jasa, perlu didukung kampanye pencitraan Indonesia di dalam dan di luar negeri.
(2) Pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(3) Pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha di luar negeri berkoordinasi dengan Perwakilan Republik Indonesia di negara terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kampanye pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Pasal 80
(1) Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan Promosi Dagang ke luar negeri, dapat dibentuk badan Promosi Dagang di luar negeri.
(2) Pembentukan badan Promosi Dagang di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk fasilitasnya dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan, dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XII KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Pasal 82
(1) Untuk meningkatkan akses Pasar serta melindungi dan mengamankan kepentingan nasional, Pemerintah dapat melakukan kerja sama Perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional.
(2) Kerja sama Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional.

Pasal 83
Pemerintah dalam melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 84
(1) Setiap perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
(2) Perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Keputusan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja pada masa sidang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan undang-undang.
b. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden.
(4) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja pada masa sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling lama 1 (satu) kali masa sidang berikutnya.
(6) Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan nasional, Dewan Perwakilan Rakyat menolak persetujuan perjanjian Perdagangan internasional.
(7) Peraturan Presiden mengenai pengesahan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 85
(1) Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian Perdagangan internasional yang persetujuannya dilakukan dengan undang-undang berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional.
(2) Pemerintah dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian Perdagangan internasional yang pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peninjauan kembali dan pembatalan perjanjian Perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemeritah.

Pasal 86
(1) Dalam melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional, Pemerintah dapat membentuk tim perunding yang bertugas mempersiapkan dan melakukan perundingan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan tim perunding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 87
(1) Pemerintah dapat memberikan preferensi Perdagangan secara unilateral kepada negara kurang berkembang dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian preferensi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

BAB XIII SISTEM INFORMASI PERDAGANGAN

Pasal 88
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga Pemerintah nonkementerian.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan.

Pasal 89
(1) Sistem Informasi Perdagangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau informasi Perdagangan.
(2) Data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri.
(3) Data dan informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara akurat, cepat, dan tepat guna serta mudah diakses oleh masyarakat.

Pasal 90
(1) Menteri dalam menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan dapat meminta data dan informasi di bidang Perdagangan kepada kementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya.
(2) Kementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya berkewajiban memberikan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mutakhir, akurat, dan cepat.

Pasal 91
Data dan informasi Perdagangan bersifat terbuka, kecuali ditentukan lain oleh Menteri.

Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Perdagangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DI BIDANG PERDAGANGAN

Pasal 93
Tugas Pemerintah di bidang Perdagangan mencakup:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang Perdagangan;
b. merumuskan Standar nasional;
c. merumuskan dan menetapkan norma, Standar, prosedur, dan kriteria di bidang Perdagangan;
d. menetapkan sistem perizinan di bidang Perdagangan;
e. mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting;
f. melaksanakan Kerja sama Perdagangan Internasional;
g. mengelola informasi di bidang Perdagangan;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan di bidang Perdagangan;
i. mendorong pengembangan Ekspor nasional;
j. menciptakan iklim usaha yang kondusif; 35
k. mengembangkan logistik nasional; dan
l. tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 94
Pemerintah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 mempunyai wewenang:
a. memberikan perizinan kepada Pelaku Usaha di bidang Perdagangan;
b. melaksanakan harmonisasi kebijakan Perdagangan di dalam negeri dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem Distribusi nasional, tertib niaga, integrasi Pasar, dan kepastian berusaha;
c. membatalkan kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang bertentangan dengan kebijakan dan regulasi Pemerintah;
d. menetapkan larangan dan/atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa;
e. mengembangkan logistik nasional guna memastikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting; dan
f. wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 95
Pemerintah Daerah bertugas:
a. melaksanakan kebijakan Pemerintah di bidang Perdagangan;
b. melaksanakan perizinan di bidang Perdagangan di daerah;
c. mengendalikan ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting;
d. memantau pelaksanaan Kerja Sama Perdagangan Internasional di daerah;
e. mengelola informasi di bidang Perdagangan di daerah;
f. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan di bidang Perdagangan di daerah;
g. mendorong pengembangan Ekspor nasional;
h. menciptakan iklim usaha yang kondusif;
i. mengembangkan logistik daerah; dan
j. tugas lain di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96
(1) Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan dan strategi di bidang Perdagangan di daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah;
b. memberikan perizinan kepada Pelaku Usaha di bidang Perdagangan yang dilimpahkan atau didelegasikan oleh Pemerintah;
c. mengelola informasi Perdagangan di daerah dalam rangka penyelenggaraan Sistem Informasi Perdagangan;
d. melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan Perdagangan di daerah setempat; dan
e. wewenang lain di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB XV KOMITE PERDAGANGAN NASIONAL

Pasal 97
(1) Untuk mendukung percepatan pencapaian tujuan pengaturan kegiatan Perdagangan, Presiden dapat membentuk Komite Perdagangan Nasional.
(2) Komite Perdagangan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Menteri.
(3) Keanggotaan Komite Perdagangan Nasional terdiri atas unsur:
a. Pemerintah;
b. lembaga yang bertugas melaksanakan penyelidikan tindakan antidumping dan tindakan imbalan;
c. lembaga yang bertugas melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan pengamanan Perdagangan;
d. lembaga yang bertugas memberikan rekomendasi mengenai pelindungan konsumen;
e. Pelaku Usaha atau asosiasi usaha di bidang Perdagangan; dan
f. akademisi atau pakar di bidang Perdagangan.
(4) Komite Perdagangan Nasional bertugas:
a. memberikan masukan dalam penentuan kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan; 37
b. memberikan pertimbangan atas kebijakan pembiayaan Perdagangan;
c. memberikan pertimbangan kepentingan nasional terhadap rekomendasi tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan Perdagangan;
d. memberikan masukan dan pertimbangan dalam penyelesaian masalah Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri;
e. membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan kebijakan dan praktik Perdagangan di negara mitra dagang;
f. memberikan masukan dalam menyusun posisi runding dalam Kerja sama Perdagangan Internasional;
g. membantu Pemerintah melakukan sosialisasi terhadap kebijakan dan regulasi di bidang Perdagangan; dan
h. tugas lain yang dianggap perlu.
(5) Biaya pelaksanaan tugas Komite Perdagangan Nasional bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Perdagangan Nasional diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XVI PENGAWASAN

Pasal 98
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menetapkan kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan.

Pasal 99
(1) Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan oleh Menteri.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:
a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik Barang dari Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan; dan/atau
b. pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.

Pasal 100
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Menteri menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2) Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi.
(3) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap:
a. perizinan di bidang Perdagangan;
b. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur;
c. Distribusi Barang dan/atau Jasa;
d. pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
e. pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib;
f. pendaftaran Gudang; dan
g. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat:
a. merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang;
b. merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau
c. merekomendasikan pencabutan perizinan di bidang Perdagangan.
(5) Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
(6) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 101
(1) Pemerintah dapat menetapkan Perdagangan Barang dalam pengawasan.
(2) Dalam hal penetapan Barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menerima masukan dari organisasi usaha.
(3) Barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XVII PENYIDIKAN

Pasal 103
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan mengenai terjadinya suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana di bidang Perdagangan;
b. memeriksa kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
c. memanggil orang, badan usaha, atau badan hukum untuk dimintai keterangan dan alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perdagangan;
d. memanggil orang, badan usaha, atau badan hukum untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka berkenaan dengan dugaan terjadinya dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
e. memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
f. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
g. melakukan pemeriksaan dan penggeledahan tempat kejadian perkara dan tempat tertentu yang diduga terdapat alat bukti serta melakukan penyitaan dan/atau penyegelan terhadap Barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
h. memberikan tanda pengaman dan mengamankan Barang bukti sehubungan dengan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
i. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, Barang, sarana pengangkut, atau objek lain yang dapat dijadikan bukti adanya dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan;
j. mendatangkan dan meminta bantuan atau keterangan ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan dugaan tindak pidana di bidang Perdagangan; dan
k. menghentikan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal tertentu sepanjang menyangkut kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kepabeanan berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan di bidang Perdagangan berkoordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.
(4) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(5) Pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang Perdagangan dapat dikoordinasikan oleh unit khusus yang dapat dibentuk di instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.
(6) Pedoman pelaksanaan penanganan tindak pidana di bidang Perdagangan ditetapkan oleh Menteri.

BAB XVIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 104
Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 105
Pelaku Usaha yang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 106
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki perizinan di bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 107
Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 108
Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109
Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 110
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 111
Setiap Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 112
(1) Eksportir yang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Importir yang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 113
Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 114
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 116
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

BAB XIX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 117
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai Perdagangan dalam Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934, Staatsblad 1938 Nomor 86 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 118
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2210);
b. Undang-Undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2469); dan
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2759),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 119
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perdagangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 120
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua kewenangan di bidang Perdagangan yang diatur dalam undang-undang lain sebelum Undang-Undang ini berlaku pelaksanaannya berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 121
Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 122
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...


RUU perdagangan
Maaf jika tulisan Mengenai RUU Perdagangan ini tidak beraturan tidak rapi, yang penting semoga poin dan isinya bisa dipahami sehingga RUU perdagangan yang sekarang sudah disetujui DPR RI menjadi UU perdagangan yang baru tersebut bisa kita pahami bersama. Jika anda berkenan silakan klik tombol Like Facebook atau tweet atau G+1 supaya teman-teman anda juga bisa membaca berbagai informasi dari blog ini Terimakasih.